Showing posts with label Dinasti Yuan. Show all posts
Showing posts with label Dinasti Yuan. Show all posts

Tuesday, 21 July 2015

San Pek Eng Tay Kisah Latar Belakang Penggunaan Jati dan Bambu

Kisah San Pek Eng Tay atau Sam Pek Eng Tay memang bukanlah sebuah kisah yang asing bagi masyarakat Indonesia, khususnya kaum keturunan Tionghoa di tanah air. Sebab sejak tahun 1885, Boen Sing Hoo, seorang penulis keturunan Tionghoa sudah mengungkapkan kisah ini di dalam bukunya. Dia memberi judul bukunya dengan "Tjerita dahoeloe kala Negeri Tjina, Terpoengoet Tjeritaan Menjanjian Tjina Sam Pik Ing Taij."
Kemudian ke belakang ada juga beberapa penulis, termasuk juga penerjemah cersil OKT ikut menerjemahkan karya ini dalam versi lain. Tak hanya dalam versi tulis menulis, dalam versi drama panggung juga pernah dirilis versi lama kisah ini. Yang paling terkenal tentu saja drama San Pek Eng Tay garapan Teater Koma yang dipimpin oleh N. Riantiarno.
Tak heran kalau kemudian seorang guru besar sastera seperti Prof Dr Priono menuliskan kekagumannya pada kisah ini dalam majalah Tionghoa, "Sin Tjoen" di tahun 1956. Dia juga membandingkan kisah ini dengan Romeo and Juliet karya Shakespeare, atau Roro Mendut Pranacitra serta Tristan dan Isuet dari Prancis.
Di negeri asalnya sendiri, San Pek Eng Tay memang sangatlah dikenal. Selain disajikan dalam bentuk buku dan opera, kisah ini juga banyak disadur dalam beberapa versi serial dan film layar lebar. Sehingga kisah yang dilatarbelakangi kehidupan zaman Dinasti Goan atau Yuan (1271-1368 Masehi) ini jadi semakin populer.
Kisah San Pek Eng Tay sendiri bermula ketika Eng Tay, seorang perempuan Tionghoa berusaha ingin mendobrak tradisi kaum totok di daratan Tiongkok yang melarang kaum Hawa untuk melanjutkan pendidikannya. Dengan keteguhan hatinya, akhirnya orang tua Eng Tay mengizinkannya untuk melanjutkan studi. Namun karena zaman itu belum ada sekolah khusus bagi kaum perempuan, maka Eng Tay terpaksa harus menyamar jadi seorang pria.
Singkat cerita di sekolah baru itu, Eng Tay berkenalan dengan seorang pria lugu yang bernama San Pek. Diawali dengan sebuah "permusuhan kecil", akhirnya mereka pun terlibat dalam kisah asmara. Sayang, karena zaman itu perempuan tak punya hak untuk menentukan calon suaminya sendiri, orang tua Eng Tay sudah menjodohkan anaknya ini dengan pria lain sehingga cinta mereka tak bisa dipersatukan.
Karena cinta mereka terancam kandas, maka keduanya kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya secara bersama. Dan yang mengherankan dari kedua kuburan sepasang kekasih ini muncul pohon kayu jati dan bambu sebagai lambang cinta mereka yang dipersatukan. Konon inilah yang menyebabkan beberapa tukang kayu di Tiongkok dan juga Indonesia kerap mengunakan bambu sebagai pasak dari perabotan kayu jati yang mereka buat. Di Tiongkok sendiri orang selalu mengikat tahang kayu jati yang mereka buat dengan tali yang terbuat dari bambu.
Buku ini sendiri kian menarik karena disajikan dalam bentuk bergambar dan gambarnya masih sangat klasik. Sehingga pembaca tak hanya dapat menyaksikan keindahan cerita namun juga bisa menyaksikan keindahan lukisan bergaya chinese painting. ()

Judul : San Pek Eng Tay
Diceritakan Kembali : Marcus AS
Penerbit : Marwin
Kondisi : 100 % Baru
Harga Normal : Rp 30.000
Harga Diskon : Rp 25.000 (belum termasuk ongkos kirim)
Pemesanan : WA/SMS ke 085920713061 atau email bukuklasik@gmail.com

Monday, 20 July 2015

Pi Pa Chi Kisah Sindiran Bagi Pejabat yang Amoral

Kisah Pi Pa Chi adalah sebuah kisah drama Tionghoa yang termasyhur. Karena itu dia banyak dimainkan dalam sejumlah pertunjukan dan opera di Tiongkok. Di Indonesia sendiri, kisah ini sudah dikenal sejak tahun 1930, kisah ini disajikan dalam mingguan Penghidoepan.  Sementera di dunia barat atau versi Inggris, Pi Pa Chi diberi tajuk “The Story of Lute”.
Kisah ini sendiri berbicara tentang pasangan suami isteri yakni Chao Pochea dan ChouWu-niang. Kedua suami-isteri ini sangat miskin sehingga perekonomian keluarga mereka sangat memprihatinkan. Apalagi kedua orang tua Pochea juga sudah tua dan tak memiliki harta sehinga mereka harus menumpang bersama Chao Pochea dan ChouWu-niang.
Suatu hari Chao Pochea menyatakan kepada isterinya untuk berjuang mengikuti ujian saringan masuk sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di ibu kota. Maka keduanya pun sepakat membagi tugas, Chao Pochea akan mencari peruntungan baru sementara sang isteri harus menjaga dua orang tua Pochea. Jika Pochea sudah sukses dia berjanji akan kembali untuk mengangkat kehidupan keluarganya.
Namun nasib berkata lain, Pochea memang sukses meraih semua mimpinya. Dia berhasil menjadi seorang pejabat, bahkan karirnya semakin sukses karena dia diangkat menjadi seorang menantu perdana menteri. Sayang saat dia sukses, dia melupakan sang isteri dan kedua orang tuanya. Dia asyik dengan kehidupan barunya, sementara sang isteri harus berjuang sendiri dengan penuh prihatin.
Suatu kali sang isteri menemui isteri baru Chao Pochea dan menceritakan semua apa yang terjadi. Beruntung isteri baru Pochea berhati luhur sehingga dia berhasil membujuk Pochea untuk mengakui Chao Wu-niang.
Sepintas kisah ini hanyalah sebuah kisah biasa, namun kalau kita merujuk pada kisah di balik latar belakang penulisannya, kisah ini jadi sebuah kisah luar biasa. Karena Kao Ming si penulis kisah ini adalah seorang pejabat di zaman Dinasti Goan (1271-1368).
Konon Kao Ming tergerak menulis kisah ini karena ingin menyindir seorang pejabat tinggi yang juga sahabatnya. Pejabat itu bernama Wang Tse yang melupakan keluarganya sehingga pejabat ini dia anggap sebagai pejabat amoral. Maka itulah Kao Ming menulis kisah bertajuk PI Pa Chi, dimana dua huruf Pi Pa identik dengan kata “Wang” dan Chi yang identik dengan kata “Tze”.
Setelah Dinasti Yuan runtuh, kaisar pertama Dinasti Ming yakni Chu Hong Bu atau Chao Hongzu (1468-1498) sempat membaca kisah Pi Pa Chi ini. Dia sangat kagum akan nasihat yang terkandung di dalam kisah ini sehingga Chu Hong Bu mengundang  Kao Ming untuk menjadi pejabat di kerajaannya.  Namun Kao Ming menolak dengan alasan dia sudah tua.  ()

Judul : Pi Pa Chi
Karya : Kao Ming
Diceritakan Kembali Oleh : Lauw Eng Hoeij
Penerbit : KCM Production
 Harga Normal : Rp 40.000
Harga Diskon : Rp 30.000 (belum ongkos kirim)
Pemesanan : WA /SMS 085920713061
Email : bukuklasik@gmail.com

Saturday, 18 July 2015

Beng Lee Kun, Kisah Emansipasi Perempuan Ala Negeri Tiongkok

Kisah Beng LeeKun atau Meng Li-chun adalah kisah yang dilatarbelakangi pemerintahan zaman Dinasti Goan atau Yuan (1271 – 1368 Masehi). Dalam kisah yang berjudul asli Tsai Sheng Yuan atau Dilahirkan Kembali atau juga Perjodohan Sesudah Penitisan ini, si penulisnya ingin menggambarkan tentang seorang perempuan bangsawan yang gigih dalam upaya menyelamatkan kekasihnya dari fitnah. Ketika itu Tiongkok dikuasai oleh Kaisar Sie Couw atau Shizu (yang berkuasa antara tahun 1260–1294 Masehi).
Kepandaiannya dalam ilmu surat (Bu) yang sangat luar biasa dimanfaatkannya betul, sehingga sang gadis rela menyamar menjadi seorang pemuda dan mengikuti ujian negara.  Tak dikira ternyata dia lulus dan memperoleh jabatan yang cukup tinggi. Ini tentu sebuah keadaan yang tak bisa didapat oleh seorang wanita di zaman itu.
Ketika menjadi pejabat, selain berusaha menyembunyikan jati dirinya sebagai perempuan, Beng Lee Kun juga harus menjalankan tugas-tugas yang biasa dilakukan kaum Adam ini dengan sangat baik. Akhirnya dia pun menjadi seorang menteri kepercayaan, bahkan perdana menteri.
Singkat cerita penyamarannya sebagai laki-laki pun terbongkar, namun yang menarik kaisar tidak menghukumnya dan malah jatuh cinta pada perdana menterinya itu. Meski Beng Lee Kun terus-menerus menolak, kaisar tetap berusaha menunjukkan cintanya. Sampai akhirnya, cinta kaisar bertepuk sebelah tangan karena Ibu Suri mengangkat Beng Lee Kun menjadi anaknya.
Oleh sebagian besar orang Tionghoa zaman dahulu, kisah Beng Lee Kun ini memang dianggap tak sehebat kisah roman Sam Kok atau Shui Hu Chuan yang begitu kolosal. Dalam hikayat sastera Tiongkok, konon sebuah karya baru dianggap sastera jika minimal terdiri dari 100 bab, sementara karya-karya yang kurang kolosal seperti Beng Lee Kun hanya dianggap sebagai Hsiao-shuo alias omongan kecil. Walau sebenarnya kisah Beng Lee Kun ini tetap dapat dianggap sebagai roman bermutu di era saat ini.
Namun karena dianggap kurang populer itulah, maka dulu jarang ada orang yang tahu siapa penulis Beng Lee Kun ini. Namun sebuah buku bertajuk “Chinese Women Through Chinese Eyes” karya Li Yuning yang terbit tahun 1991 ini telah mengungkapkan siapa penulis karya ini.
Penulis karya ini ternyata adalah seorang wanita yang bernama Chen Tuan Sheng dan Liang Te-shen. Dikatakan Yu-ning bahwa kedua penulis perempuan ini dalam kehidupan tulis-menulisnya di antara tahun 1751-1847 Masehi juga terpaksa menyamarkan diri sebagai seorang penulis laki-laki.
Dalam analisanya, Li Yuning seperti ingin menggambarkan bahwa betapa lemahnya peranan wanita di Tiongkok kala itu, sehingga si penulis yang juga dua orang wanita ini ingin “memproklamirkan” gerakan emansipasi melalui karya bertajuk Tsai Sheng Yuan ini.()

Judul : Beng Lee Kun 1-2 (Tamat)
Diceritakan Kembali : Marcus AS
Penerbit : Suara Harapan Bangsa
Harga Normal : Rp 200.000
Harga Diskon : Rp 150.000 (belum termasuk ongkos kirim)
Kondisi : Baru 100 %
Pemesanan : WA /SMS 085920713061